Transformasi Pola Penyakit di Indonesia

19 jam lalu
Bagikan Artikel Ini
img-content
Transformasi Pola Penyakit di Indonesia: Dari Infeksi Menuju Penyakit Tidak Menular
Iklan

Selain perilaku individu, kebijakan publik memegang peran strategis. Pemerintah perlu menciptakan lingkungan yang mendukung gaya hidup sehat.

Wacana ini ditulis oleh Rasya Ramadhan, Luthfiah Mawar M.K.M., Helsa Nasution, M.Pd., dan Dr. M. Agung Rahmadi, M.Si. Lalu diedit oleh Nadia Saphira, Amanda Aulia Putri, Naysila Prasetio, Winda Yulia Gitania Br Sembiring, dan Annisa Br Bangun dari IKM 5 Stambuk 2025, Fakultas Kesehatan Masyarakat, UIN Sumatera Utara.

***

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Dalam sebuah wawancara yang dilakukan di Posbindu Kelurahan Sawah Baru, seorang warga berusia 42 tahun menceritakan pengalaman pertamanya mengetahui bahwa tekanan darah dan gula darahnya berada di atas ambang normal. Kisah ini menjadi refleksi nyata mengenai perubahan lanskap kesehatan masyarakat Indonesia, di mana penyakit tidak menular mulai mengambil peran dominan dibanding penyakit infeksi. Pergeseran ini bukan sekadar prediksi, tetapi kenyataan yang sudah dirasakan masyarakat dan menuntut respons yang cepat, terutama bagi generasi produktif yang menjadi sasaran risiko utama.

 

Penyakit tidak menular kini menempati porsi beban kesehatan yang signifikan, mencapai sekitar 70 persen dari total beban penyakit di Indonesia. Faktor risiko utama yang muncul meliputi hipertensi, kadar gula darah tinggi, obesitas, konsumsi rokok, dan pola makan yang kurang sehat. Survei di Kelurahan Sawah Baru terhadap 100 responden berusia 30 hingga 70 tahun menunjukkan bahwa lebih dari setengah peserta mengalami hipertensi, kolesterol tinggi, gula darah sewaktu melebihi normal, serta kadar asam urat yang tinggi. Temuan ini memperjelas bahwa penyakit tidak menular tidak hanya menyerang lansia, tetapi sudah menyebar ke kelompok usia produktif, sehingga intervensi dini menjadi semakin penting.

 

Perubahan gaya hidup menjadi pendorong utama percepatan pergeseran ini. Urbanisasi, modernisasi, dan globalisasi telah mengubah pola makan dan aktivitas fisik masyarakat. Konsumsi makanan olahan, gula tambahan, dan lemak jenuh meningkat, sementara asupan buah dan sayur tetap rendah. Kurangnya aktivitas fisik menjadi faktor kronis yang memperburuk risiko. Penelitian tentang pola distribusi faktor risiko penyakit tidak menular pada remaja Indonesia menunjukkan bahwa sebagian besar remaja kurang melakukan aktivitas fisik, mengonsumsi gula secara berlebihan, dan jarang mengonsumsi buah serta sayur. Kondisi ini menunjukkan bahwa akumulasi risiko sudah muncul sejak usia muda.

 

Risiko kesehatan akan meningkat jika deteksi dini dan intervensi tidak diperluas. Laporan "Analisis Situasi Masalah Kesehatan Penyakit Tidak Menular" mencatat bahwa prevalensi hipertensi, stroke, dan diabetes meningkat secara konsisten selama beberapa dekade. Di sisi lain, meskipun penyakit infeksi seperti ISPA dan TBC masih ada, kontribusi penyakit tidak menular terhadap angka morbiditas dan mortalitas jauh lebih besar. Program skrining dan edukasi kesehatan masyarakat di pedesaan menunjukkan bahwa intervensi yang sistematis, misalnya melalui Posbindu yang menyediakan pemeriksaan tekanan darah, gula darah, asam urat, dan kolesterol, terbukti efektif menurunkan prevalensi penyakit tidak menular.

 

Edukasi menjadi elemen krusial dalam pencegahan. Pengetahuan masyarakat tentang faktor risiko, gejala awal, dan pentingnya pengukuran rutin menjadi fondasi penting. Studi pada mahasiswa memperlihatkan bahwa kurangnya olahraga, rendahnya konsumsi buah dan sayur, serta kebiasaan merokok meningkatkan risiko penyakit tidak menular secara signifikan. Edukasi yang tepat harus dipandang sebagai kebutuhan mendasar, bukan kegiatan tambahan, agar perilaku sehat dapat terbentuk sejak dini.

 

Selain perilaku individu, kebijakan publik memegang peran strategis. Pemerintah perlu menciptakan lingkungan yang mendukung gaya hidup sehat, misalnya dengan menyediakan ruang publik untuk aktivitas fisik, mengatur regulasi terhadap produk rokok dan makanan tinggi gula atau lemak, serta mempromosikan diet sehat. Data Riskesdas tahun 2018 menunjukkan tren meningkatnya prevalensi hipertensi, diabetes, dan penyakit sendi, menegaskan perlunya kebijakan proaktif. Dukungan teknologi juga menjadi penunjang penting. Aplikasi mobile untuk pemantauan kesehatan pribadi, edukasi daring, pelacakan faktor risiko secara digital, dan pemberdayaan masyarakat melalui media sosial dapat memperkuat pendekatan preventif dan promotif. Strategi terintegrasi ini diharapkan memperlambat laju kenaikan penyakit tidak menular dan menekan dampaknya pada generasi produktif.

 

Kesimpulannya, pergeseran pola penyakit di Indonesia dari infeksi ke penyakit tidak menular telah menjadi kenyataan yang nyata. Dengan penyakit tidak menular menyumbang sekitar 70 persen beban penyakit nasional dan prevalensi faktor risiko yang terus meningkat, deteksi dini, edukasi berkelanjutan, serta kebijakan publik yang mendukung gaya hidup sehat menjadi kunci utama. Kerja sama lintas sektor antara masyarakat, pemerintah, dan sektor swasta harus diperkuat agar generasi produktif tetap sehat dan produktif. Respons kolektif terhadap pergeseran ini bukan sekadar tindakan medis, tetapi merupakan investasi jangka panjang bagi kualitas hidup bangsa dan keberlanjutan sistem kesehatan Indonesia.

 

Corresponding Author: Rasya Ramadhan

([email protected])

Bagikan Artikel Ini

Baca Juga











Artikel Terpopuler